Jumat, 30 Oktober 2009

KOBONGAN DAN RUKHSHAH TIDAK PUASA

KOBONGAN, akar katanya “kobong” artinya terbakar. Kobongan dalam pengertian Jawa adalah menyetubuhi isteri atau bersenggema ketika waktu subuh sudah masuk, dan/ atau bersenggama pada siang hari di bulan suci ramadhan, yang dengannya dapat membatalkan puasa seperti halnya makan dan minum dengan sengaja tanpa halangan (‘udzur) yang dibenarkan oleh hukum.
Kobongan di bulan ramadhan secara hukum puasanya batal, tetapi meskipun pada saat itu sudah batal, yang bersangkutan tidak boleh makan hingga terbenam matahari. Dan sebagai kifaratnya wajib memerdekakakan seorang budak, atau berpuasa 2 (dua) bulan berurut-turut, dan/ atau memberi makan 60 (enam puluh) orang miskin, sabda Rasul: “Ada seorang pria datang kepada Rasul, seraya berkata: Wahai Rasul rusak aku (halaktu). Rasul bersabda: Apa yang membuat kamu rusak ? Saya menjima’ isteri si bulan ramadhan, sahut pria itu. Rasul bersabda: Apakah kamu sanggup memerdekakan seorang budak ? Pria itu berkata tidak. Rasul bersabda: Apakah kamu kuat berpuasa 2 (dua) bulan berturut-turut ? Pria itu berkata tidak. Abihurairah berkata: Dalam pada itu, Rasul diberi 1 (satu) wadah besar yang berisi kurma. Lalu Rasul bersabda: Ambillah kurma ini dan sedekahkan kepada orang-orang miskin…(HR. Shahih Muslim)
Membayar kifarat hanya ada 2 (dua) pilihan, berpuasa 2 (dua) bulan berturut-turut dan memberi makan 60 (enam puluh) orang miskin. Hal ini, karena di negeri ini tidak budak. Dan bahkan di Mekah sendiri sudah tidak ada perbudakan. Perbudakan pernah ada di jaman Rasul, seiring dengan perkembangan jaman perbukan negeri turunnya al-qur’an itu akhirnya hilang dengan sendirinya.
Masalahnya adalah, al-qur’an maupun al-hadits tidak ada penjelasan secara rinci berapa yang harus dibayarkan bagi orang yang kobongan di bulan ramadahan. Al-hadits hanya menyebutkan memberi makan 60 (enam puluh orang miskin), tidak ada penjelasan per-orang sekian real dan/ atau sekian rupiah.
Perihal itu, para alim ulama berperan untuk berijtihad guna menentukan nilai nominalnya yang harus dibayarkan oleh orang yang kobongan pada siang hari di bulan ramadhan. Sebagian ulama berpendapat, bahwa yang harus dibayarkan oleh orang yang kobongan sebagai berikut: Memberi makan kepada orang miskin @ Rp. 10.000,00. Jadi, yang harus dibayarkan adalah 60 orang x Rp. 10.000,00 = Rp. 600.000,00. Dan uang tersebut supaya dibagikan kepada fakir miskin setempat.
Fidyah
Apa itu fidyah ? Denda (biasanya berupa makanan pokok, misalnya beras dsb) yang dibayar oleh seorang muslim karena meninggalkan puasa yang disebabkan oleh penyakit menahun, dan penyakit tua yang menimpa dirinya dsb. (Kamus Besar Bahasa Indonesia 1994 hal. 276)
Membayar fidyah atau denda bagi orang yang tidak puasa, dasarnya adalah firman Allah swt: “Dan wajib atas orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin” (QS. 2: 184)
Ibnu Abbas berkata: Ayat diatas kemurahan (rukhshah) bagi pria dan wanita yang sudah lansia, keduanya berusaha sekuat tenaga untuk berpuasa. (Maka), keduanya diberi kemurahan untuk tidak berpuasa, (tapi) harus membayar fidya. Caranya adalah, yang bersangkutan setiap hari supaya memberi makan kepada 1 (satu) orang miskin.
Demikian pula wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui. Imam Abudawaud berkata: Maksudnya adalah untuk keselamatan anaknya, maka keduanya dibolehkan tidak berpuasa, (sebagai gantinya) supaya memberi makan” (HR. Abudawud)
Didalam fikih sunnah, dari Atha’ Imam Bukhary meriwayatkan: Bahwa Atha’ mendengarkan kepada Ibnu Abbas yang sedang membaca ayat: “Wa’alalladzina yuthiqunahu fidyatun tha’amu miskin”. Lalu, Ibnu Abbas berkata: Ayat ini tidak mansukh, dan diberlakukan hanya bagi pria dan wanita yang sudah lansia lagi tidak kuat menjalankan puasa. Maka, keduanya supaya memberi makan kepada 1 (satu) orang miskin dalam setiap harinya. (Selain itu), ayat ini juga berlaku bagi orang yang sakit menahun (kronis) dan menurut keterangan dokter penyakitnya sulit untuk disembuhkan.
Penjelasan
1) Yang termasuk kelompok lansia adalah pria maupun wanita yang sudah berusia 60 tahun keatas, dan sudah tidak kuat berpuasa. Sebagai gantinya setiap hari ia harus membayar fidyah, yaitu memberi makan kepada orang miskin, lebih kurang @ Rp. 7.500,00 per-orang (hasil ijtihad ulama).
2) Orang yang sakit menahun (kronis) dan sudah tidak kuat berpuasa, juga dibolehkan untuk membayar fidyah, yaitu memberi makan kepada orang miskin, yang besarannya sebagaimana poin 1 (satu) diatas.
3) Adapun wanita hamil dan ibu yang tengah menyusui anaknya, oleh sebagian ulama menganjurkan untuk tetap berpuasa (tidak membayar fidyah). Karena, sekarang ini ibu yang menyusui dan ibu hamil, pada malam harinya dapat mengkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi. Sedangkan si-kecil yang masih menyusui pada siang harinya tidak harus menyusu kepada ibunya, tetapi dapat mengunakan susu kaleng buatan pabrik.
4) Orang pikun dan orang gila (majnun) meskipun tidak berpuasa, mereka tidak wajib membayar fidyah, sebab orang gila dan orang pikun keduanya tidak terkena kewajiban berpuasa.
Musafir
Musafir adalah orang yang meninggalkan negerinya (selama tiga hari atau lebih), pengembara (Kamus Besar Bahasa Indonesia 1994 hal. 675). Ada riwayat yang mengatakan: Musafir adalah perjalanan (kaki) sehari semalam (jauhnya lebih kurang 90 km).
Para musafirin atau pemudik yang menempuh perjalanan jauh, mereka tidak wajib menjalankan ibadah puasa: Sesungguhnya bin ‘Abbas berkata: Rasulullah berpuasa, (namun) ketika Rasul sampai di suatu tempat yang bernama Kadid (mata air yang letaknya antara daerah “Qudaid dan ‘Asfan”, (lalu) Rasul tidak puasa selama berada di Wilayah tersebut hingga berakhir Ramadhan.
Dari Anas semoga Allah meridhohi padanya, dia (Anas) berkata: Kami pernah bersama Rasul dalam sebuah bepergian, sebagian dari kami ada yang puasa dan ada yang tidak puasa. Anas berkata: Pada hari itu matahari sangat panas, lalu kami berteduh di bawah pohon yang rindang, sebagian dari kami ada yang berlindung dari kainnya dan ada berlindung dengan tangannya. Anas berkata: Jatuh dan pingsang orang-orang yang berpuasa. (Sedangkan) bagi mereka yang tidak puasa terlihat tetap sehat bugar, dengan begitu Rasul bersabda: Pada hari ini, orang-orang yang tidak puasa justru mendapat pahala” (HR. Shahih Muslim)
Dari Muhammad bin Ka’ab bahwasanya dia berkata: Pada bulan ramadhan aku (Ka’ab) datang kepada Anas bin Malik, ketika itu (Anas) akan bepergian jauh (musafir), lalu Anas minta makanan lalu disantapnya. (Dengan begitu), aku (Ka’ab) berkata kepada Anas: Apakah ini termasuk sunnah? Ini adalah sunnah, sahut Anas. Lalu Anas naik kendaraan” (HR. Sunan Turmudzi)
Perihal itu, bagi para musafirin yang akan pulang kampung menjelang Hari Raya Idul Fitri 1430 H, jika dalam perjalanan diperkirakan memakan waktu yang cukup lama dan sangat melelahkan hingga sampai tujuan, sebaiknya anda tidak puasa, dan sebelum berangkat disunatkan untuk makan terlebih dahulu. Tetapi, jika anda berangkat dari Jakarta menuju Ujung Pandang, menggunakan jasa pesawat Garuda Air Lines yang ber-AC, lama dalam penerbangan di udara hanya lebih kurang 2 jam penerbangan dan cukup menyenangkan, maka sebaiknya anda tetap berpuasa, sehingga tidak perlu mengganti puasa di luar ramadhan.
Bagi wong Cirebon yang menggunakan jasa angkutan kereta Argota Jati dan Cirek kelas bisnis yang ber-AC jurusan Cirebon Jakarta, dan juga juga sebaiknya dari Jakarta ke Cirebon. Sebaiknya tidak harus membatalkan puasa. Tetapi, kalau tidak puasa-pun anda tidak berdosa, dengan catatan harus mengganti puasa di luar ramadlan sejumlah hari yang tidak puasa.
Kesimpulan: 1) Kobongan adalah hubungan badan suami isteri pada siang hari di bulan ramadhan, dan kifaratnya memberi makan 60 orang miskin atau berpuasa 2 (dua) bulan berturut-turut. 2) Fidyah adalah tebusan berupa makanan pokok bagi mereka yang sudah lansia dan sudah tidak kuat lagi menajalankan ibadah puasa. 3) Wanita hamil dan Ibu yang masih menyusui di bulan ramadhan, dianjurkan untuk puasa. Karena, pada siang hari si kecil dapat menggunakan susu kaleng. Sedang wanita hamil dalam menjaga kondisi fisiknya agar tetap prima, pada malam harinya dapat mengkomsumsi makanan dan minuman yang bergizI.
H. Mansyur, anggota asosiasi guru penulis PGRI Provinsi Jawa Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar