Kamis, 29 Oktober 2009

ETOS KERJA YANG BERMAKNA

SETIAP orang yang bekerja rata-rata menghabiskan waktu 30 s.d 40 tahun, setelah itu pensiun menjadi komunitas lansia, seraya menunggu malaikat Maut datang menjemputnya untuk menghadap keharibaannya. Perihal itu, bekerja menghabiskan waktu yang tidak sedikit bukan hanya mencari sesuap nasi. Tetapi, juga untuk mencari makna bagi kehidupan duniawi dan ukhrawi.
Untuk menggapai makna keduanya, paling tidak ada dua hal yang bisa menjelaskan: Pertama, pekerjaan harus sesuai dengan minat, kompetensi profesi, dan peluang. Ketiga-tiganya sangat erat kaitannya dalam menunjang profesi. Misalnya, ada peluang tetapi tidak berminat, namun masih relevan dengan kompetensi. Hal semacam itu, diperlukan kesiapan mental. Bahwa seseorang harus siap menghadapi berbagai situasi dalam menempuh “misi kerja”.
Kesiapan mental yang kuat dalam mengemban misi pekerjaan sebagai amanat yang dipercayakan, yang dengannya menjadi sebuah praktik moralitas bersyukur. Kedua, mencintai pekerjaan. Ada banyak pekerja yang tidak langsung mencintai pekerjaannya, dikarenakan belum mendalami dengan baik. Dalam bekerja selalu dihadapkan dua hal, yaitu mencintai pekerjaan dan/ atau mengeluh setiap hari. Bagi mereka yang tidak mencintai perofesinya kebanyakan mengeluh.
Menurut Jansen Sinamo, ia mengutip dari filsuf asal Jerman, Johann Wolfgang von Goethe: “Its not doing the thing we like, but liking the thing we have to do, that makes life happy”. (Jangan mengerjakan sesuatu yang hanya kita sukai, tetapi cintailah sesuatu yang harus kita kerjakan, itu akan membuat hidup bahagia).
Dalam hidup kadang kita harus melakukan sesuatu yang tidak disukai dan tidak punya pilihan lain. Sementara itu, kita tidak boleh semau gue. Kata orang bijak: “Jika suka makan ikan, konsekwensinya harus mau ketemu duri”. Dalam dunia kerja, kata duri dapat dianalogikan gaji yang kecil, teman kerja yang tidak menyenangkan, atasan yang kurang empatik dan masih banyak lagi yang seirama dengan itu. Dari sinilah seorang pekerja menjalani gemblengan dan ujian mental, yang dengannya memperluas wawasan, pengalaman untuk menjadi seorang pekerja yang andal dan memiliki etos kerja.
Sejak zaman kolonial Belanda, tenaga kerja di negeri ini sudah terkenal kurang bagus, tentara Belanda menamakan inlander (pemalas), sebutan ini termasuk cemoohan yang berkonotasi ejekan pemalas. Berbeda dengan etos samurai yang dimiliki oleh bangsa Jepang, sejak dulu terkenal dan dikenal sebagai bangsa yang pekerja keras dan ulet.
Bangsa penyembah matahari itu, dalam bekerja bukan berarti tidak mengenal waktu seperti para pecandu kerja (workaholic). Tetapi, mereka pandai mengatur waktu, baik untuk kepentingan pekerjaan yang telah terprogram dan maupun untuk keperluan lain diluar jam kerja. Prinsipnya adalah, bahwa bekerja untuk semua dan semua harus bekerja baik bawahan maupun atasan.
Ada banyak atasan yang mengharapkan bawahannya bekerja keras, sementara itu ia sendiri banyak melakukan hal-hal yang melemahkan semangat kerja bawahan. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Jansen: Atasan yang suka mengkritik bawahan, tetapi tidak pernah memuji jika bawahan berprestasi. Bukankah setiap insan menyukai penghargaan (reward)? Sangat manusiawi, tentunya.
Konosuke Matsushita, salah seorang pendiri perusahaan Matsushita Elektrik Industrial (MET) menjadi contoh yang bagus. Begini ceritanya: Pada tahun 1929, saat itu terjadi resesi dunia membuat pertumbuhan ekonomi Jepang anjlok tajam. Hampir seluruh perusahaan di negeri Sakura itu melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawannya, sehingga perusahaan MET terpaksa memangkas produksi hingga setengahnya. Namun, Matsushita menjamin tak seorang-pun karyawan yang terkena PHK. Konsekwensinya, pimpinan perusahaan mengajak seluruh karyawan untuk bekerja keras, mereka dilatih dan dididik untuk menjual hasil produksi, dan hasilnya “sungguh luar biasa”. Para karyawan yang terlatih dan terdidik berubah menjadi tenaga marketing yang memiliki etos kerja dan profesional, yang dengannya menjadikan perusahaan MET terkuat di Jepang di zamannya.
Etos kerja
Ada banyak pengertian etos kerja, misalnya: 1) Merupakan perilaku khas suatu komunitas atau organisasi, mencakup motivasi yang menggerakkan, karakteristis utama, spirit dasar, pikiran dasar, kode etik, kode moral, kode perilaku, sikap-sikap, aspirasi-aspirasi, keyakinan-keyakinan, prinsip-prinsip, dan standar-standar, 2) Keyakinan, berfungsi sebagai panduan tingkah laku bagi seseorang, sekolompok orang dan/ atau sebuah institusi, 3) Sehimpunan perilaku positif, lahir sebagai keyakinan fundamental dan komitmen total pada paradigma kerja yang integral atau terpadu.
Jadi, etos kerja adalah roh dari keberhasilan kerja yang saling menguatkan antara kompetensi, karakter, yang dilandasi oleh nilai-nilai komitmen, doktrin dan keyakinan. Jika semua syarat tersebut berfungsi dengan baik akan melahirkn etos kerja yang bermakna: 1) Bekerja adalah rahmat, apapun profesi anda misalnya sebagai pengusaha, BUMN, sebagai aparat pemerintah yang duduk di eksekutif, di legislatif, sebagai PNS, dan bahkan sebagai tenaga buruh kasar sekalipun adalah rahmat dari Sang Khalik. Dengan bekerja, berarti mempunyai sumber pendapatan yang rutin sebagai rezki yang halal.
Dengan bekerja, setiap awal bulan menerima gaji dan tunjangan profesi, dengan bekerja mempunyai banyak teman dan kesempatan untuk menambah ilmu dan memperluas wawasan. 2) Bekerja adalah amanat, Presiden dan Wakilnya menerima amanat dari seluruh rakyat, anggota DPR-RI menerima amanat dari rakyat daerah pemelihannya, pramuniaga menerima amanat dari pemilik toko, PNS menerima amanat dari negara.
Para penerima amanat yang tidak amanat, ancamannya neraka: “Neraka wel bagi pemimpin, neraka wel bagi staf, dan neraka wel bagi orang yang menerima amanat”. Demikian sabda Rasul.
Penjelasan: Pemimpin yang masuk neraka: Bagi mereka yang tidak amanat, tidak berlaku adil, dan tidak belas kasihan. Staf yang masuk neraka: Bagi mereka yang bekerja semau gue dan hanya menuntut haknya supaya terpenuhi. Penerima amanat yang masuk neraka: Bagi mereka yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik, datang ke kantor hanya setiap tanggal muda menganbil gaji buta.
3) Bekerja adalah ibadah, dalam bekerja niatnya untuk mencari nafkah yang halal, yang dengannya sebagai penunjang kelancaran menghambakan diri kepada-Nya. Bukankah ibadah haji diwajibkan bagi orang-orang yang berduit? Dan jika belum menunaikan ibadah haji islamnya belum sempurnah.
4) Bekerja adalah panggilan, misalnya profesi dokter, perawat, guru, pengusaha, petani dan profesi lainnya. Pada hakikatnya adalah pengabdian dan panggilan jiwa. Dokter dan perawat terpanggil untuk membantu orang sakit, para ustadz dan guru terpanggil untuk menyebarkan ilmu kepada muridnya, para penulis terpanggil menginformasikan kebenaran kepada publik, dan para petani terpanggil untuk menyediakan pangan bagi umat manusia.
Jika setiap tenaga profesional di negeri ini menyadari, bahwa bekerja adalah panggilan jiwa yang bernilai ibadah, ia akan mengatakan begini: “I’m doing my best” (saya akan melakukan yang terbaik).
5) Bekerja adalah kehormatan, Ibnu Zina ilmuwan muslim dan ahli filsafat. Telah menulis banyak buku termasuk buku tentang obat-obatan, yang dengannya menjadi pedoman dan acuan ilmu kedokteran masa kini. Sejarah telah mengukir dengan tinta emas, bahwa Ibnu Zina telah memberikan sumbangan yang sangat besar kepada dunia dan perkembangan IPTEK.
6) Bekerja adalah pelayanan, seorang pemahat tiang yang menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mengukir tiang hingga ke ujung paling tinggi. Orang bertanya, buat apa anda membuat ukiran yang indah di tempat yang tak terlihat ? Manusia dan kalian tidak bisa menatap dan manikmati ukiran saya. Tetapi, Sang Khalik bisa menatapnya, jawab si pemahat.
Pada pertengahan abad ke XX, di Prancis hiduplah seorang Duda sebatang kara karena ditinggal mati oleh isteri dan ana-anaknya, kemudian ia pergi ke sebuah lembah Cavennen yang jauh dari keramaian orang. Di lembah yang sepih itu, ia mengembala kambing dan menanam biji oak disepanjang lembah Cavennen. Ia bekerja tanpa mengharapkan imbalan dan tak seorangpun yang memujinya saat itu. Ia meninggal dunia pada usia 89 tahun dan meninggalkan harta warisan yang luar biasa: Tanaman hutan lebat sepanjang 11 km, tanah yang semula tandus kini menjadi subur, sungai-sungai yang dulunya kering kini airnya melimpah dan mengalir kembali. Kekayaan alam peninggalannya itu, kini dinikmati oleh orang-orang yang tak dikenalnya.
Ibnu Zina, Duda asal Prancis, dan ahli seni pemahat itu, telah mengajarkan kepada kita perihal etos kerja yang bermakna, motivasinya hanya mengharapkan ridloh Allah swt. Hal semacam itu, sebaiknya juga dipunyai oleh kita semua, khususnya para pemangku jabatan dan seluruh tenaga profesional ***. Wallahu ‘alam.
H. Mansyur: Anggota asosiasi guru penulis PGRI Provinsi Jawa Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar