Senin, 28 Desember 2009

MENYAMBUT TAHUN HIJRIAH

Datangnya tahun baru secara matematik usia bertambah satu tahun, namun pada hakikatnya usia semakin berkurang. Mengapa demikian ? Karena, lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi takdir setiap orang sudah ditentukan oleh-Nya, misalnya rizki, jodoh, ajal, dan usia. Jadi, jika tahun 2010 yang akan datang usia anda genap 70 tahun, sedangkan jatah usia anda untuk hidup di dunia hanya 70 tahun 2 bulan. Maka jatah hidup anda tinggal dua bulan.
Prosesi dalam menjalani kehidupan berjalan secara alami, seiring dengan perjalanan waktu. Pergantian siang dengan malam dan malam dengan siang, menunjukkan waktu terus berjalan tiada henti. Artinya apa? Saat ini, kita semua tengah berinteraksi dengan waktu. Waktu terus bergulir tiada henti. Jadi, kita semua adalah bagian dari waktu. Jika waktu telah berlalu, maka berlalu pulalah sebagian dari sisa hidup.
Waktu sarat dengan makna, barang siapa yang mengerti makna waktu berarti dia mengetahui makna kehidupan. Kita sama-sama berada dibawah kolom langit, namun wawasan tidak sama, dalam sehari semalam sama-sama menggunakan waktu 24 jam, tapi perolehannya tidak sama. Maka benar kata orang, waktu adalah uang (time is money). Sebaliknya, orang yang tidak pandai mengatur waktu ia tergolong orang yang celaka. Sebab, kata orang Arab waktu bagaikan pedang (al-waktu kash-shaif). Firman Allah: “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan saling nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran, dan nasehat menasehati supaya menetapi kebenaran” QS. 103:1-3)
Evaluasi
Untuk mengaetahui secara pasti, sejauhmana kita menggunakan waktu selama tahun 2009. Maka, dipenghujung tahun ini supaya melakukan evaluasi diri: Pertama, bermuhasabah. Artinya melakukan perhitungan seluruh aktivitas selama satu tahun silam. Jika hari ini sama dengan dengan kemarin termasuk orang yang merugi, dan jika hari ini lebih jelek ketimbang hari kemarin termasuk orang yang celaka, demikian sabda Rasul.
Evaluasi untuk mengetahui sejauh mana kualitas penghambaan diri kita kepada Allah swt, maka pada hakikatnya bermuhasabah tidak hanya ketika memasuki tahun baru, tetapi setiap saat dapat dilakukan “Hitunglah diri kamu sebelum kamu dihitung, dan timbanglah amal kamu sebelum kamu ditimbang”, demikian ucapan Sayyidina Umar bin Khattab.
Kedua, muraqabah. Artinya pengawasan terhadap seluruh aktivitas, baik secara vertikal penghambaan diri kepada Allah, dan/ atau hubungan secara horizontal kepada masyarakat. Penghambaan diri kepada-Nya dapat diterima sebagai amal shaleh disisi-Nya, jika tidak menyimpang dari ketentuan Allah dan Rasul-NYa. Selain itu, hubungan yang harmonis kepada Allah harus seiring dengan hubungan yang kondusif kepada masyarakat sekitar.
Orang yang rajin salat, tetapi hubungan dengan masyarakat sekitar disharmonis, maka kebenaran salatnya harus dipertanyakan. Demikian pula sebaliknya. Bukankah Sang Khalik telah mengajarkan kepada kita, bahwasanya salat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar.
Jadi, muraqabah dilakukan supaya amal ibadah tetap dalam bimbingan wahyu, dengan mengacu kepada lima prinsip: (1) Star principle, yaitu mengikuti prinsip bintang, yaitu orientasinya hanya kepada-Nya, yang diharapkan hanya rahmat dan taufik-Nya. (2) Angel principle, yaitu sangat loyal kepada Allah sebagaimana para malaikat, tunduk dan patuh, seraya mengatakan sami’na watha’na mastatha’na. (3) Leadershif principle, yaitu meneladani kepemimpinan Rasulullah saw, dengan mengedepankan kejujuran, kasih sayang, suka menolong, dan selalu husnudzan, bahwa tidak ada yang baik dan buruk, kecuali pikiran yang membuatnya, demikian ungkapan “Shakespeare” seorang tokoh yang sangat prospektif di jamannya. (4) Lerning leadershif, yaitu menjadi insan pembelajar selalu ingin tahu dan melakukan penenlitian, Dengan tetap memperhatikan peningkatan (up-ragading) mutu dan orsinilitas, jauh dari bid’ah, khurafat, takhayyul dan syirik, dan yang ke (5) Vision principle, yaitu visinya jauh kedepan yang orientasinya untuk menggapai kebahagiaan dunia dan akherat.
Hasil penelitian
Di penghujung tahun 2001 silam, ada dua hasil penelitian perihal masyarakat Indonesia, hasilnya saling bertentangan satu sama lain. Yang pertama menyebutkan bahwa rakyat Indonesia, secara keagamaan terlihat semakin saleh. Responden menyebut dirinya semakin intensif menjalankan ibadah dan praktik-praktik keagamaan lainnya.
Hal itu pula, dapat kita saksikan semakin maraknya pendirian rumah-rumah ibadah, majelis taklim tumbuh bagaikan jamur di musim hujan, baik di masjid-masjid, musalla-musallah, di sekolah-sekolah, di Perguruan Tinggi (PT), dan bahkan di kantor-kantor. Jumlah jemaah hajinya terbesar di dunia, animo pendaftarnya selalu melebihi kuota, pengguna jilbab terus bertambah, acara-acara keagamaan di TV terutama di bulan Ramadhan menempati prime time dan bahkan mendapat rating paling tinggi. Yang kedua, setelah mencermati lebih dari seratus Negara selama 2001, hasilnya sangat memprihatinkan: Bahwa menempatkan Indonesia sebagai Negara “The most violen in the world”, yaitu bangsa yang paling tinggi tindak kekerasannya di dunia.
Nyaris tak terdengar dari pelosok dunia manapun, ada seorang pencuri yang tertangkap lalu dibakar hidup-hidup, yang tangis dan pilunya tak membuat iba orang-orang menganiayanya. Justru sebaliknya, mereka menyorakinya dengan merasa bangga dan bersuka ria, seraya mengeluarkan kata-kata mapus loh, rasain loh, kecuali Indonesia. Padahal, pelaku pencuri dan yang membakar sama-sama muslim dan kesehariannya juga memakmurkan masjid. (Rusdi Malik)
Hasil penelitian diatas menunjukkan, bahwa kesalehan individu tidak selamanya berkolerasi positif dengan kesalehan sosial. Adalah sebuah fakta, bahwa aktivitas keagamaan yang dilakukan selama ini, ternyata belum mampu merubah mental para pelakunya.
Kini terlihat dengan jelas, masyarakat kita semakin intoleransi, bukan hanya kepada yang berlaianan agama. Dan bahkan, kepada sesama muslim-pun terkadang lebih sadis perlakuannya.
Sikap intoleransi seperti inilah yang mendominasi kontribusi munculnya ketegangan sosial selama ini. Uniknya, intoleransi masyarakat semacam itu, terus meningkat dari tahun ke tahun, seiring dengan semakin membaiknya kehidupan beragama. Yang pertama, seputar tahun 70-an kelompok yang gemar berkelahi secara masalal adalah para abang becak dan kenek mobil, hal ini dilakukan karena rebutan ”lahan rizki”. Lahan tersebut sudah sekian lama jadi pangkalan becak, karena pengembangan wilayah tersebut dan alasan lain, lalu Pemerintah Daerah setempat mengeluarkan peraturan, bahwa wilayah tersebut menjadi rute angkutan umum. Yang kedua, tahun 80-an maraknya perkelahian antar pelajar tingkat SMP dan SMA. Yang ketiga, tahun 90-an maraknya perkelahian mahasiswa di internal kampus, antar fakultas dan antar Perguruan Tinggi. Yang keempat, tahun 2000-an perkelahian semakin trend yang dilakukan oleh antar farkasi di parlemen oleh anggota DPR/ MPR-RI. Yang saat itu ditonton langsung oleh jutaan mata rakyat, karena kejadiannya ketika sidang berlangsung di gedung DPR/ MRI-RI. Yang kelima, tahun 2004-an muncul perkelahian antar kampung yang dilakukan oleh kelompok masyarakat dan sering membawa korban jiwa dan harta. Yang keenam, tahun 2007-an muncul tindak kekerasan yang dialkukan oleh komunitas internal muslim yang berbeda keyakinan. Dan yang menjadi sasarn saat itu kelompok Ahmadiyah, alasan aksi penyerangan kelompok ini adalah hasil Rakernas MUI tahun 2007: Bahwa kelompok Ahmadiyah termasuk aliran sesat.
Akan lebih arif, jika saat itu MUI membuka forum dialog dengan mereka, guna mencari solusi yang terbaik, sehingga kelompok yang anti Ahmadiyah tidak main hakim sendiri. Perilaku kekerasan dan main hakim sendiri, tahun demi tahun terlihat semakin meningkat.
Para penegak HAM meneriakkan bahwa aksi kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah termasuk pelanggaran HAM dan pelanggaran agama. Dengan begitu, aparat penegak hukum segera turun tangan untuk melindungi dan mengayomi mereka. Sebab, bagaimanapun mereka adalah warga megara Indonesia, dan secara yuridis formal dilindungi oleh Undang-Undang. Masalahnya adalah, kekerasan dan main hakim sendiri, akan terus meningkat dan tidak bisa dihilangkan. Hal ini, menunjukkan bahwa tahun demi tahun akhlak semakin buruk. Maka benar sabda Rasul: ”Tidak datang pada kalian suatu zaman kecuali zaman sesudahnya, lebih buruk dari pada zaman sebelumnya” (HR. Bukhary)
Meskipun demikian, menyambut tahun baru yang berbasis muhasabah dan muraqabah, sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas ma’bud hanya kepada Allah swt, dan tidak mengabaikan hubungan yang kondusif dengan masyarakat sekitar, dalam konteks Bhinneka Tunggal Ika demi tetap tegaknya ”Ukhuwah basyariyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah islamiyah” ***.
*) H. Mansyur: Anggota guru penulis PGRI Provinsi Jawa Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar